Image and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPic
Image and video hosting by TinyPic
Showing posts with label RUNWAY REPORT. Show all posts
Showing posts with label RUNWAY REPORT. Show all posts

Tuesday, April 28, 2015

A NEW ERA AT IWAN TIRTA

RUNWAY REPORT 
 RUNWAY COLLECTION 2015 

By Jo Reiner Widjaja




Image Courtesy of Iwan Tirta


Fashion is change, that is an undeniable truth. The industry is nothing if not to be relevant and à la mode. Yet with this facet, comes the realisation that change is not what people might always expect, because with it; favourable and unfavourable reaction are also unequivocal. The late Iwan Tirta who passed away in 2010 has left a legacy beyond any doubt as legendary, with his self-named label, he has brought Indonesian batik to prominence. His distinct play with Keraton Batik and Java Relics have entitled his creations with the common notion as "Batik of Kings". Taken a void of five years, last April the label held its first official runway collection where a breeze of change is seen. With a new creative director at helm (Era Soekamto),the world ballots in their perception as affirming or the opposite. 


Fesyen dan perubahan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Industri yang men-selebrasi keterdepanan selera ini, tentunya tidak akan menjadi apa-apa jikalau sebuah rumah mode tertinggal tren. Tetapi tentunya, dengan perubahan, opini akan selalu terbesit. Baik itu opini yang menjunjung perubahan atau yang justru menolaknya. Perubahan inilah yang tenagh terjadi di dalam rumah mode Iwan Tirta. Sosok legendaris Iwan Tirta adalah tokoh yang membawa budaya pakaian batik ke ranah dunia internasional, meninggal di tahun 2010, rumah mode-nya pun kini memiliki pemimpin kreatif baru bernama Era Soekamto. Dan setelah memilih rehat dari panggung pagelaran tunggal selama 5 tahun, April lalu Iwan Tirta Private Collection baru saja mempersembahan koleksi barunya bertajuk Dewaraja. Bagaimana respon dan penampilan kurasi koleksi ini? Berikut adalah liputannya. 





The collection showcased a total of 60 looks all ranging from womenswear to menswear with an array of silhouette and cuttings from a-line dresses, high collar shirts, cape dresses, to knee-length dress. Pushing a modern appeal, the notable highlight of the collection is the application of these batik materials in modern silhouette. It is in our humble opinion that the collection seems very forward and relevant with today's society taste. Even so, there are other notable differences that exist in the collection; if Iwan preferred to use Batik Keraton and Java Relics as the pattern of his batik, Era in this case opted for Batik Bali and Parang Kemitir. And if Iwan had the tendencies to depict his collection's inspiration from personified muses, Era on the other hand chose a more philosophical approach, such as what happen in this collection where she derived "Dewaraja" (A state of transcendence of a king into a God-like state) as her main inspiration for the collection. True enough these differences have raised some eyebrows, Anton Diaz, Indonesian fashion critic for example stated that, "Iwan would never created a menswear jacket like that!" as he was quoted from Tempo in reaction to the flamboyant mens' jacket that was displayed on the show. Or the remarks from Pauly Pattypelohi, Iwan's assistant who said, "The collection doesn't really speak Iwan Tirta". But in the spirit of change, affirmations are also seen as it was apparent that the majority of the invitees were in awe of the collection that seems very fresh and current. 

Koleksi ini menampilkan 60 tampilan looks, dimulai dari pakaian wanita hingga pria dalam berbagai siluet dan potongan. Gaun A-line, cape dresses, kemeja berkerah tinggi, bahkan jas pria yang dibubuhkan pola batik muncul di atas catwalk. Modern, fresh, dan sangat kekinian adalah hal-hal yang tersirat dipikiran kami. Beberapa perbedaan tampak dari koleksi yang ada, jikalau Iwan lebih suka bermain dengan pola Batik Keraton atau Regalia Jawa, Era lebih memilih untuk medefinisi ulang pola Batik Bali dan Parang Kemitir. Dan Jikalau Iwan cenderung mengambil inspirasi untuk koleksinya dari individu-individu inspirasional, Era memilih untuk mengambil arahan filosofis layaknya dengan "Dewaraja" sebuah terminologi bagi raja yang tengah bertransformasi menuju tahap Dewa. Perbedaan-perbedaan ini tentunya mengundang opini yang bertentangan dengan apa yang tengah dilakukan oleh Era, seperti Anton Diaz dan Pauly Pattypelohi seperti di kutip oleh Tempo di artikel ini. Walau demikian, apa yang begitu jelas adalah mayoritas dari para pecinta Iwan Tirta menyetujui arahan baru ini, terlihat dari antusiasme dan kemeriahan pujian tepat setelah pagelaran busana yang ada di Fairmont Jakarta tersebut.  











True enough that a new era is seen in Iwan Tirta, while it has raised some doubts from several critics, in our opinion the new direction seems to be spot-on to the fundamental nature of fashion. Revitalisation is key in a brand's DNA; Raf Simons with his minimalistic approach in compare with John Galliano's in Christian Dior, or Ricardo Tisci's  direction to democratise Givenchy. These cases proof that each new creative director should have a fine and definitive voice to represent the prevailing demand, a success or not? Only time will tell. But from the looks of it, the future seems bright for Iwan Tirta by Era Soekamto.  

Benar adanya. Perubahan tengah terjadi di dalam tubuh rumah mode Iwan Tirta. Walau terdapat pihak yang mungkin masih mempertanyakan arahan baru ini, dalam opini kami perubahan yang ada sangatlah sesuai dengan apa yang dibutuhkan dunia mode; relevansi. Bagaimana tidak? Revitalisasi merupakan kunci dari kesuksesan beberapa brand dunia, layaknya Raf Simons di Dior yang begitu minimal jikalau dibandingkan dengan John Galliano pendahulunya, atau arahan Ricardo Tisci yang mendemokratisasikan Givenchy. Perubahan adalah kunci bagian yang tidak terelakkan di mode yang harus terus didukung.  






Editors Note: As this article is being written, the collection for Dewaraja is reported to be sold out.

Sunday, October 26, 2014

SAPTO'S IVORY TOWER

RUNWAY REPORT 
 SAPTO DJOJOKARTIKO SPRING SUMMER 2015 

By Jo Reiner Widjaja & Satrio Ramadhan



All Images Taken By Satrio Ramadhan for No.1707

As the world grows more seamless more than ever, the fashion world is also defined by this irreverent truth; taste have become global. Our understanding of what beauty is, and what style is, have reach to a point where it is simply beautiful  to feel attraction to the same singular flair. Sapto Djojokartiko, an Indonesian designer who has seen a rise in the past years aligning himself with prominence as great as Biyan or Sebastian Gunawan, had just showcased a collection he cleverly name prêt-à-couture at Harper's Bazaar Fashion Festival. A collection of demi couture pieces, of which has the practicality of ready-to-wear but has the craftsmanship approach of those in haute couture. The term may seem new to Indonesians, but seeing the rise of french maison or italian atelier such as; Raf Simons at Christian Dior and Giambattista Valli who created a more approachable couture collection in their houses, it comes to no surprise that an Indonesian would eventually take the same approach. Put Sapto amongst Indonesian houses and you will see him differing himself, secluding and eyeing the future, as he sits in his Ivory tower glancing through Indonesian society; pushing new propositions.   

Liminalitas, mendikte perahlian dunia yang lebih menyatu. Tidak hanya di dalam aspek informasi dan teknologi, bahkan dunia mode merasakan hal yang sama; gaya dan selera dunia menjadi serupa. Pengertian mengenai apakah keindahan, dan apakah mode telah mencapai titik dimana kita semua memiliki kecenderungan atraksi terhadap hal yang sama. Sapto Djojokartiko, seorang desainer yang tengah melesat dalam peta fesyen Indonesia baru saja mengeluarkan sebuah koleksi pada ajang Harper's Bazaar Fashion Festival yang ia namai dengan pret-a-couture. Koleksi musim panas dan semi berisikan demi couture yang memiliki praktikalitas pakaian siap pakai tetapi dengan konstruksi couture. Term 'demi couture' mungkin terdengar asing, tetapi melihat dengan bertambah banyaknya rumah mode Perancis dan Italia seperti Christian Dior atau Giambattista Valli yang mendefinisi ulang koleksi couture mereka dengan pendekatan yang praktis, semustinya hal ini tidak mengagetkan bahwa akan ada desainer Indonesia yang mengadaptasi pendekatan serupa. Ambil Sapto Sjojokartiko dan letakan ia bersama visi yang ia miliki. Lihatlah bagaimana ia mendeferensiasikan dirinya, menseklusikan imajinya dan melihat kepada masa depan. Seiring ia duduk di tahta menara gading yang ia miliki, ia menbedakan diri dari para pemain lainnya di Indonesia dengan menawarkan proposisi baru bagi industri mode tanah air. 




The collection was presented in an all white setting, with an orchestra of two cellos playing in the background. The models in their demure ethereal beauty pranced around the marble-like ruins, showcasing flowing dresses and beautiful pale ensembles. The presentation was full of awe. Ivory, bone, shades of grey, and off-white were the major colours of the evening, schemer over french lace, organza, and linen in pieces that are symmetrical and flowing. Not only dresses, but the collection also consist of jackets, and embroidered pants. The inspiration comes from Indonesian Penara, the technique which originated from the Java Island depicts of precision and symmetrically, which Sapto did so well in translating to a more global appeal. Classic, elegant, stripped from gaudy glamour the collection challenges the notion of Indonesian craving for kitschy glimmer. An approach we approve.       

Di presentasikan pada setting serba putih, koleksi ini ditampilkan dengan alunan orkestra berisikan dua cello. Para peragawati dengan dandanan make-up yang minim dan natural, berjalan mengelilingi runway yang dihiasi dengan reruntuhan patung Yunani memperlihatkan koleksi yang didominasi dengan warna ivory, bone, abu-abu, dan off-white. Gaun dan susunan pakaian yang ada memiliki silhuet yang simetris dan terkesan effortless dengan bahan yang ringan. Menggunakan organza, renda Perancis, dan linen, Sapto mengambil inspirasi dari Penara Jawa dan menggunakan presisi yang ada untuk menyulap bahan-bahan ini menjadi gaun, jaket, dan celanda berembrodir. Klasik, elegan, dan tidak menampilkan sisi yang terlalu glamour, Sapto memberikan pendekatan yang menantang presepsi pasar yang selalu menginginkan kemeriahan. Sebuah pendekatan yang kami setujui. 









Friday, September 6, 2013

SEBASTIAN MOD AESTHETICS

RUNWAY REPORT 
 SEBASTIAN GUNAWAN COUTURE 

by Jo Reiner Widjaja 


Image Taken by Renny Ruth Roren of EjiReji for No.1707

In a time where every single activity of a person's life is a spectacle and digitalized, Sebastian Gunawan yearns for originality, both in taste and identity. Thus when it comes to his 2014 collection he payed an homage for these essences that he cleverly put together in a theme called "ModMuse". Mod short for modern is the embodiment of the women that Sebastian designs for; stylish women who is forward minded and always look at the forefront of fashion, while all in all these modern women who are a spectacle themselves became a muse for the people that surrounds them in everyday life. Mod Muse; an homage for that clientele of his that stays true, original, fashion-forward, and a force personified that her friends yearn to be. A muse with modern aesthetics.

Di masa dimana setiap aktifitas seseorang menjadi sebuah sorotan mata yang terdigitalisasi, Sebastian Gunawan menginginkan selera dan identitas yang orisinil. Oleh karena itu ketika saat bagi koleksi lini 2014 milikinya datang, Sebastian mendedikasikannya terhadap nilai-nilai tersebut; selera dan identitas orisinil yang layak untuk dikagumi, sebuah koleksi bertajuk "ModMuse". Mod kependekan dari modern merupakan sebuah personifikasi dari wanita-wanita yang Sebastian pikirkan dalam desainnya; wanita ala mode yang memiliki pikiran maju baik dalam berpikir mau pun dalam berpakaian. Kemampuan ini pun yang kemudian menjadikan wanita-wanita ini menjadi muse  atau ikon panutan bagi sekelilingnya. ModMuse; sebuah persembahan dari Sebastian bagi para wanita klien-nya yang selalu orisinil, asli, fashion-forward, dan merupakan identitas-identitas yang dipanut oleh teman-temannya. Panutan dengan estetika modern. 





Showcasing a total of 117 looks of dresses and ensembles for its couture collection under the Sebastian Gunawan line, Seba also showed 3 bridal dresses under the Sebastian Sposa line. Sebastian Gunawan opted for an ethereal looks shimmering with glamour as the models are accessorized with a out of this world elegance in headpieces by Rinaldy A. Yunardi. With refined materials such as organzas, laces, velvets, feathers, and swarovski elements Sebastian with the help of his wife Cristine Panarese designs dresses detailed with damask patterns,  and brocade. The dresses that were displayed varied from  from mermaid dresses, strapless gowns, A-Line dresses, and caped tops and gowns. The utmost memorable dress that have captured our attention was a two piece look of a caped top embellished with obi  belt paired with a ruffled skirt in a royal blue shade. The ensemble was exquisite and very fresh and modern, where the materials were designed cleverly in a very grandeur gold pattern. 


Mempertunjukan 117 looks terdiri dari gaun-gaun dan paduan pakaian untuk lini kolaksi haute couture-nya, Sebastian Gunawan juga menunjukan 3 gaun bridal bagi lini Sebastian Sposa. Untuk koleksi ini, Sebastian atau yang lebih sering dipanggil Seba menampilkan look yang terkesal ethereal. Gaun-gaun yang berkilau glamour dikenakan oleh model-model bernuansa kemewahan dengan headpieces yang dibuat oleh Rinaldy A. Yunardi. Material seperti organza, renda, velvet, bulu-bulu, dan swarovski dimasukian dalam desain damask, dan brokat pada gaun-gaun dengan berbagai siluet; gaun mermaid, strapless, A-Line, atasan dengan cape dan ruffles. 





























Monday, July 16, 2012

SAPTO DJOJOKARTIKO'S DNA

RUNWAY REPORT 
 SAPTO DJOJOKARTIKO PRÊT-À-PORTER

by Jo Reiner Widjaja 


Image Courtesy of Tommy Adiputra

Well-known is a very interesting word, one might identify it as being established or famous for great things, or even being infamous from undesirable matters, even so one thing is for sure; that in order to be a well known designer, a person (or house) must have relatable appeal that both works well with its audience and an appeal which that certain designer has to be known for. Many designers these days are greats craftsman but unfortunately many of them lack this appeal and vision, they execute well  but lack that oomph of style, they do not have an identity; the DNA and it-factor of well-known style. One have to face this unbearable truth; that DNA is the main attraction of each label, the DNA of the design house is what sets them apart from other houses, and this is what enables people to recall each style in association towards a designer. These strands of DNA is filled with chromosomes of style that provokes one's mind when in thought of a certain style towards a label. For instance; Alexander McQueen is well known for his house's avant garde style and masculine aesthetics mixed with a definition of feminine romanist, whilst Valentino on the other hand is known for his great italian elegance that stood so mature and chic with great use of red fabrics in all shapes and sizes that forms A-line dresses, or even if you think of Biyan you will remember his payet and interpretation of great traditional Indonesian dresses design aesthetics in a contemporary way. Yes, being well-known for a certain strands of style DNA is important. Thus when one thinks about Sapto Djojokartiko one cannot deny but hope no less than great glamour pieces, in a contemporary state, and with its 'dark' appeal, a mixture of elegance but a little bit edged up with an un-contemporary use of clever materials such as; pins or hair-like faux fur, and his ready to wear collection just satisfies that lust one have for his signature DNA or even more. Yes, the collection was a tribute (you might say), to the complete past collections of his couture line for the past three years. This pret-a-porter collection was a statement collection, a debut for what will this special line would look like in the coming years, Sapto has successfully incorporate all of his past couture designs from the year 2009,2010, to 2011 to one ready to wear collection, a sheer skirts with leaves prints from 2009, an all black ensemble with mermaid bottom of drape effect made out of a sheer materials with black ribbon trimmings from 2011, or even the use of clever gold beading from recent designs. The show started with a dark room being lit by two screens uttering the name 'Sapto Djojokartiko' people such as Auguste Soesastro, Yoland Handoko, and many other fashion people have all been seated in such a graceful manner, the atmosphere were so severe that we were also filled with such anxiety to see the debut, and then it began.   

Ketenaran merupakan sesuatu hal yang sungguh menarik, ada beberapa individu yang menjadi tenar sebagai akibat dari hal-hal agung yang mereka lakukan, tetapi terdapat juga mereka yang menjadi 'terkenal' sebagai akibat dari hal-hal yang bersifat negatif. Walau pun demikian terdapat satu nilai yang dapat kami petik, seseorang dapat memperoleh keteneran jikalau mereka dikenal oleh suatu poin tertentu. Ya, demikian juga seorang desainer, acap kali banyak desainer yang merupakan seorang seniman dan artisan hebat tetapi tidak berhasil oleh sebab diri mereka dan style mereka yang tidak dikenal oleh pasar yang ditujunya, memang benar bahwa mereka adalah seorang seamstress  yang handal, tetapi tanpa visi dan identitas style tersebut, sangat sulit bagi mereka untuk dikenal. Katakanlah bahwa identitas ini merupakan DNA dari seorang desainer tersebut, dan gaya yang mereka kenali merupakan kromosom-kromoson yang menyusun bagaimana mereka dikenal dan disaksikan oleh pasarnya. Ya, seorang desainer memerlukan sebuah DNA yang dapat memiliki daya tarik dan indentitas yang kuat, layaknya mendiang Alexander McQueen yang tenar sebagai akibat dari desainnya yang avant garde, penuh dengan sisi maskulin yang berpadu dengan daya tarik romansa feminim, atau layaknya Valentino yang begitu tenar akibat signature gaun merah yang ia selalu berikan kepada para pecintanya; potongan-potongan elegan dengan daya tarik khas italia yang selalu diberika Valentino, atau juga Biyan yang selalu dikenal oleh akibat kepiawaiannya untuk membuat payen indah dalam desain kontemporer gaun tradisional. Maka itu ketika seseorang berfikir mengenai Sapto Djojokartiko identitas dari desain yang mereka akan referensikan merupakan; desain kontemporer dengan sisi glamour, yang penuh dengan daya tarik 'gelap' dan penggunaan material yang unik seperti penggunaan pin sebagai deatil dalam gaun-gaun atau pun penggunaan faux fur dalam desainnya. Ya, itulah yang kami nantikan dari Sapto Djojokartiko kejutan penggunaan bahan-bahan unik dalam desain glamour yang elegan tetapi dalam pandangan yang kontemporer, inilah identias beliau, dan kami pun terpuaskan olehnya. Dalam peluncuran lini siap pakainya, Sapto pun telah berhasil memuaskan segala harapan kami tersebut, memasukan desain-desain lalunya dalam houte couture Sapto telah berhasil membuat haute couture affordable.












Image Courtesy of Tommy Adiputra

The first look was a jumpsuit piece with a tribal print on it, the fabric were almost sheer and dropped with this loose and flowy effect, the collar was high on the model's neck yet the sleeves and the bottom's line hangs awkwardly above the wrists. It was a very wearable look. The model sported a straight hair yet it seems so natural, the make up were almost nude but accentuated by a gold shimmering color on her lips. It was fresh, wearable, weighs cultural vibe, and so Sapto Djojokartiko. A third of the show was opened by an black dominated pieces, from high shorts in black, to an embellished hemline jacket with a gold bundles, and demure light cream top in sheer materials which are embellished by that print we saw at Sapto's invitation. There were also low cut dresses with pencil skirt detailed with studded belts, to a shimmering grey metallic shirt that was oversized and accessorized with a gold necklace of a traditional damask-esque design, it oozes sexy, glam, and wearable, we also saw many pieces of well tailored blazers in grey shimmer color and even a dark abstract prints. Yes, the prints were also the highlight of the collection, a dark prints were seen on halter tops with gold embellishments on the neck, it were also seen on several jackets, and formfitting dresses. Then the color shifted to pieces in bright red, blazers, tailored pants, and tops in a unique red cum black pattern grace the runway, oversized top with a rose print on the front of the top makes all of these red pieces a very wearable look and youthful yet still refined and elegant. Then the collection shifted once again to an all black pieces, but this time the pieces were a little bit more mature and has that formal wear vibe. Pieces in fine materials accessorized with gold flowers and embellishments are so hypnotic, skirts from the 2009 design of sheer leaves were seen, also the gold damask romanian pattern were seen on several tops and dresses, it then began to strikes us, this is his identity, his tribute pieces and his allure in bringing haute couture to a wearable definition. All of the pieces were so strong, glamorous, and wearable. Sapto has given us a little bit of himself on this pieces, all the models wore either a uniformed black or gold strappy platform stilettos. You are able to see the beautiful collection from the photos below courtesy of Tommy TMPL of www.yohanesmangitung.com

Look pertama yang ditampilkan merupakan sebuah jumpsuit dengan warna dominasi hitam yang di detailkan dengan pola tribal, bahan yang dipergunakan merupakan bahan tipis yang menyerupai bahan sheer dengan potongan leher yang cukup tinggi dan kedua lengan dan panjang kaki yang bergnatung di atas pergelangan kaki dan lengan, penampilan tersebut terlihat begitu sederhana, meskipun demikian hal ini menampilkan apa yang ingin Sapto tunjukan; koleksi yang sangat mudah dipakai dengan sisi elegan dan tetap terasa dewasa. Untuk sepertiga pertunjukan mode tersebut Sapto menampilakan berbagai pakaian dalam dominasi warna yang gelap; hitam, abu-abu yang berkilau, dan warna abu bercampur dengan hitam. Seluruh model yang ada pun mengenakan tata rias yang sangat sederhana tetapi memiliki daya tarik konsep yang kuat, tata rias alami dengan warna emas pada bibir mereka dan rambut yang diluruskan, dalam tata-an yang alami. Seluruh tata rias, dan aksesoris terlihat jelas ada untuk menyorotkan seluruh pakaian yang ada, celana pendek dengan potongan line yang tinggi dipadukan dengan sebuah atasan berwaran krem muda berbahan transparan dengan detail pola (serupa dengan yang terdapat pada undangan Sapto) dipadukan dengan sebuh jaket hitam yang oversized di detail-kan bandul-bandul berwarna keemasan, terdapat pula gaun-daun dalam potongan v rendah ber-rokkan pensil yang membentuk tubuh dengan detail stud pada bagian pinggangnya, selain itu terdapat juga kemeja berbahan indah berwarna abu-abu berkemilauan yang berdesain oversized diaksesoriskan dengan kalung beralur dedauan damask berwarna emas, blazer, jacket, dan celana tailored terlihat jelas dalam warna gelap. Hal yang menarik untuk dilihat merupakan beberapa prints bersifat abstrak dengan perpaduan warna hitam, putih, dengan sedikit kelabuan, pola prints tersebut digunakan dalam berbagai macam pakaian dalam potongan gaun halter, jaket, dan gaun berbahan dasar sutra. Seiring dengan berjalannya pagelaran kemudian warna skema koleksi pun berganti menjadi warna merah, print yang didominasikan warna merah dengan sedikit corak berwarna hitam terlihat begitu segar dan menarik. Blazer, kemeja, dan celana bahan terlihat begitu muda, indah, dan wearable. Dapat terlihat bagaiman Sapto memberikan sebuah koleksi yang dapat dengan dikenakan oleh berbagai kalangan baik mereka yang muda mau pun yang sudah berumur, selama seluruh pieces dapat dipadukan secara selaras. Setelah koleksi berwarna merah tersebut, maka keluarlah beberapa potong penampilan dalam warna-warna gelap kembali, perbedaan yang terlihat ialah bagaimana dalam pertunjukan penampilan pakaian berwarna gelap kali ini, pakaian yang ada merupakan pakaian yang bersifat lebuh dewasa dengan bahan yang lebih terlihat formal. Hal yang menarik merupakan detail yang terlihat dalam pieces ini, bahan sheer dengan detail dedaunan dari koleksi haute couture terlihat dalam beberapa potong rok, selian itu beberapa potong atasan terlihat menggunakan inspirasi damask dedaunan berwarna emas yang terdapat pada koleksi tahun 2011 Sapto Djojokartiko. Truly, koleksi ini seperti sebuah penyataan identitas dari Sapto, sang maestro seakan membuat penyataan bagaimana DNA lini nya harus dikenal melalui penggunaan desain-desain couturenya dalam lini siap pakai ini. Sebuah penyataan identitas.


























Image Courtesy of www.yohanesmangitung.com
Photographer : Tommy TMPL